Royalti Musik Panaskan Perbincangan: Mie Gacoan Lunasi Rp2,2 Miliar, Struk Restoran Rp29 Ribu Jadi Sorotan

Jakarta, 11 Agustus 2025 – Isu royalti musik mendadak menjadi topik besar di Indonesia setelah dua kejadian penting terjadi dalam waktu berdekatan. Pertama, penyelesaian sengketa antara Mie Gacoan di Bali dengan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI) yang disepakati dengan pembayaran Rp2,2 miliar. Kedua, viralnya foto struk restoran yang memuat biaya tambahan “Royalti Musik/Lagu” sebesar Rp29.140, memicu pro-kontra di media sosial.

Kasus Mie Gacoan mencuat ketika SELMI menuding jaringan kuliner tersebut memutar musik di gerai untuk kepentingan komersial tanpa membayar royalti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. SELMI menghitung nilai kewajiban berdasarkan jumlah gerai, kapasitas kursi, dan durasi pemutaran musik sejak tahun 2022. Hasilnya, total yang harus dibayar mencapai Rp2,2 miliar.

Negosiasi yang berlangsung beberapa waktu akhirnya mencapai titik damai pada 8 Agustus 2025 di Bali. Penandatanganan perjanjian dilakukan di hadapan Menteri Hukum dan HAM. Dengan kesepakatan ini, Mie Gacoan memperoleh izin memutar musik di seluruh gerai hingga akhir Desember 2025. Kesepakatan ini dinilai menjadi preseden penting bahwa aturan royalti berlaku di semua lini usaha yang menggunakan musik sebagai bagian dari pengalaman konsumen, termasuk restoran cepat saji.

Belum reda pembicaraan soal Mie Gacoan, publik dikejutkan oleh beredarnya foto struk restoran yang mencantumkan biaya royalti Rp29.140. Foto tersebut menyebar cepat dan memicu ribuan komentar di media sosial. Sebagian melihatnya sebagai tanda transparansi, namun banyak yang menganggapnya sebagai beban tambahan yang tidak semestinya dibebankan langsung ke pelanggan.

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) segera merespons isu ini. PHRI menegaskan bahwa pencantuman biaya royalti secara terpisah di struk bukanlah praktik umum di industri kuliner. Kewajiban membayar royalti berada di tangan pengelola usaha dan seharusnya sudah dimasukkan dalam harga menu. Menurut PHRI, foto yang beredar bisa jadi merupakan kasus khusus atau bahkan hasil editan, sehingga tidak bisa dijadikan gambaran kondisi industri secara keseluruhan.

Secara hukum, setiap penggunaan musik untuk tujuan komersial wajib disertai pembayaran royalti kepada pencipta atau pemegang hak cipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) atau LMK resmi seperti SELMI. Besaran tarif ditentukan berdasarkan kapasitas tempat, jumlah kursi, dan durasi pemutaran musik. Pelanggan tidak memiliki kewajiban membayar royalti secara langsung karena hal tersebut masuk dalam komponen biaya operasional usaha.

Kontroversi ini membuka kembali pembahasan tentang perlunya edukasi menyeluruh kepada pelaku usaha dan masyarakat. Beberapa musisi senior bahkan mengkritik sistem penarikan dan distribusi royalti yang dinilai kurang transparan. Tanpa perbaikan komunikasi, kasus serupa bisa kembali mencuat dan memicu salah paham publik.

Dampak dari dua peristiwa ini mulai terlihat di sektor kuliner. Sebagian restoran memilih mengurangi atau menghilangkan pemutaran musik demi menghindari biaya tambahan, sementara yang lain memperkuat kepatuhan hukum agar terhindar dari masalah serupa. Kesadaran bahwa musik di ruang publik adalah karya berhak cipta kini semakin menguat di kalangan pelaku usaha maupun konsumen.

Kisah Mie Gacoan dan viralnya struk restoran menjadi pelajaran bahwa setiap nada yang terdengar di ruang publik memiliki nilai hukum dan ekonomi. Kepatuhan pada aturan, komunikasi yang tepat, dan transparansi yang bijak akan menentukan apakah musik menjadi pelengkap suasana atau justru sumber polemik baru.