Beijing, 9 November 2025 – Sebuah tim peneliti dari Tsinghua University dan institusi terkait di China baru saja mempublikasikan terobosan yang berpotensi mengguncang fondasi industri komputasi AI global. Dalam jurnal Nature Electronics edisi terbaru, mereka mengumumkan chip komputasi analog berbasis memori RRAM yang mampu menyelesaikan tugas-tugas AI tertentu hingga 1.000 kali lebih cepat dibanding GPU flagship saat ini, sekaligus memangkas konsumsi daya hingga hanya 1 persen dari level Nvidia H100.
Berbeda dengan arsitektur digital konvensional yang mendominasi pasar selama puluhan tahun, chip ini melakukan perhitungan langsung di domain analog melalui susunan memori resistif. Pendekatan ini secara fundamental menghilangkan von Neumann bottleneck, yaitu latensi yang muncul akibat perpindahan data berulang antara memori dan unit pemrosesan.
Bagaimana Cara Kerjanya?
Inti dari chip ini adalah array RRAM yang disusun dalam struktur crossbar. Setiap persilangan pada crossbar bertindak sebagai synapse buatan yang dapat menyimpan bobot sekaligus melakukan operasi multiply-accumulate (MAC) secara paralel dalam domain analog. Hasilnya, operasi matriks-vektor yang menjadi tulang punggung jaringan saraf tiruan dapat diselesaikan dalam satu siklus clock analog tanpa perlu konversi digital-analog berulang.
Yang paling mengesankan, tim berhasil mencapai presisi komputasi setara 24-bit fixed-point pada domain analog, sesuatu yang selama lebih dari satu abad dianggap mustahil karena noise dan variabilitas perangkat. Mereka mengatasinya dengan kombinasi kalibrasi on-chip dan teknik encoding redundan yang secara efektif menekan error hingga di bawah 0,1 persen.
Performa Nyata di Lapangan
Dalam benchmark sistem MIMO precoding untuk komunikasi 6G dengan 128 antena, chip prototipe berukuran 8 mm² ini mencatatkan throughput 15,2 tera-operations per second (TOPS) dengan konsumsi daya hanya 3,2 mW. Sebagai perbandingan, Nvidia H100 pada beban serupa membutuhkan 700 watt untuk mencapai 0,015 TOPS pada metrik yang sama. Artinya, rasio performa-per-watt chip analog ini mencapai 99.997 kali lebih baik.
Untuk tugas pembalikan matriks 1024×1024, chip ini menyelesaikannya dalam 280 nanosecond, sementara GPU RTX 4090 butuh 0,31 detik pada konfigurasi single-precision. Keunggulan ini tidak hanya soal kecepatan, tapi juga efisiensi energi yang kini menjadi bottleneck utama pusat data hyperscale.
Mengapa Ini Penting?
Industri AI saat ini menghadapi tiga dinding besar: batas scaling Dennard, melonjaknya biaya litografi sub-3 nm, dan konsumsi daya yang eksponensial. Nvidia sendiri memproyeksikan kebutuhan daya pusat data AI global akan mencapai 100 GW pada 2030, setara dengan konsumsi listrik negara Belanda.
Chip analog China menawarkan jalur alternatif yang tidak lagi bergantung pada pengecilan transistor. Dengan memanfaatkan hukum fisika analog alih-alih logika digital, teknologi ini berpotensi menurunkan biaya inferensi AI hingga dua orde magnitudo, membuka pintu bagi edge AI masif pada perangkat IoT, kendaraan otonom, dan infrastruktur 6G.
Tantangan Menuju Komersialisasi
Meski hasil laboratorium sangat menjanjikan, beberapa hambatan masih harus diselesksi. Pertama, chip saat ini dioptimalkan untuk operasi matriks statis; fleksibilitas untuk menangani beragam workload AI masih terbatas dibanding GPU general-purpose. Kedua, proses fabrikasi RRAM belum se-mature CMOS, dengan yield yang dilaporkan masih di kisaran 85 persen untuk array besar.
Namun, sumber di dalam ekosistem semikonduktor China menyebutkan bahwa setidaknya dua foundry besar sedang menyiapkan lini produksi 28 nm khusus RRAM dengan target volume produksi pada kuartal ketiga 2026. Ada pula indikasi bahwa perusahaan telekomunikasi tier-1 sudah menandatangani MoU untuk mengintegrasikan chip ini pada base station 6G prototipe.
Dampak Geopolitik
Keberhasilan ini datang di tengah pembatasan ekspor teknologi chip tinggi oleh Amerika Serikat. Dengan kemampuan memproduksi chip AI berperforma tinggi secara domestik, China semakin mendekati kemandirian teknologi pada lapisan paling kritis dari rantai nilai AI. Analis memperkirakan jika teknologi ini berhasil diskalakan, defisit pasokan GPU global yang saat ini menguntungkan Nvidia bisa berbalik menjadi kelebihan kapasitas dari sisi China dalam tiga hingga lima tahun mendatang.
Menuju Era Pascadigital
Para peneliti di balik proyek ini menyatakan bahwa chip analog bukan pengganti, melainkan pelengkap GPU digital. Untuk training model skala besar, GPU tetap unggul karena fleksibilitasnya. Namun untuk inferensi edge dan aplikasi real-time dengan data stream kontinu, analog computing menawarkan efisiensi yang tak tertandingi.
“Kita sedang menyaksikan pergeseran paradigma serupa saat dunia beralih dari transistor diskrit ke integrated circuit pada 1960-an,” ujar salah satu penulis utama dalam wawancara eksklusif. “Bedanya, kali ini lompatannya jauh lebih dramatis.”
Dunia teknologi kini menahan napas menanti langkah berikutnya. Apakah chip analog China akan menjadi “Sputnik moment” baru bagi Barat, atau hanya menjadi catatan kaki dalam sejarah semikonduktor? Yang pasti, mulai November 2025, persaingan di arena AI tidak lagi hanya soal berapa teraflops, tapi seberapa pintar kita memanfaatkan hukum fisika itu sendiri.